Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi dikenal sebagai pemimpin yang memperhatikan pendidikan dan kesejahteraan rakyat. Ia mendorong studi keagamaan, membangun bendungan, menggali terusan, serta mendirikan masjid. Setelah kematiannya, wilayah kekuasaannya membentang dari sungai Tigris hingga sungai Nil. Daulah Ayyubiyah berkuasa sekitar 79 tahun dengan 9 penguasa:
Beberapa penguasa terkenal di antaranya adalah Sultan Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M), Malik Al Adil Saifuddin (1200-1218 M), dan Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M).
Nama lengkapnya adalah Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi Abdul Muzaffar Yusuf bin Najmuddin bin Ayyub. Ia berasal dari bangsa Kurdi. Ayahnya, Najmuddin Ayyub, dan pamannya, Asaduddin Syirkuh, hijrah dari dekat Danau Fan ke Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa benteng Seljuk. Ayah dan pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, gubernur Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Pada tahun 534 H/1139, setelah Imaduddin merebut wilayah Balbek, Lebanon, Najmuddin Ayyub diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud.
Shalahuddin dididik ayahnya dalam sastra, ilmu kalam, menghafal Al-Quran, dan ilmu hadits di madrasah. Cita-citanya adalah menjadi ulama. Ia senang berdiskusi tentang ilmu kalam, Al-Qur’an, fiqih, dan hadist. Selain itu, ia menekuni teknik perang, strategi, dan politik. Ia melanjutkan pendidikan di Damaskus untuk mempelajari teologi Sunni selama sepuluh tahun di istana Nuruddin. Sejak kecil, Shalahuddin menunjukkan karakter rendah hati, santun, dan penuh belas kasih. Ia tumbuh dalam keluarga agamis dan ksatria.
Setelah Sultan Nuruddin menempatkan ayahnya sebagai kepala divisi milisi di Damaskus, pada usia 26 tahun, Shalahuddin bergabung dengan pasukan pamannya (Asaduddin Syirkuh) memimpin pasukan muslimin ke Mesir atas tugas dari gubernur Suriah (Nuruddin Zangi) untuk membantu perdana menteri Daulah Fathimiyah (Perdana Menteri Syawar) menghadapi pemberontak dan penyerbuan tentara salib. Misi tersebut berhasil pada tahun 560 H/1164 M.
Shalahuddin mampu melakukan mobilisasi dan reorganisasi pasukan dan perekonomian di Mesir. Tiga tahun kemudian, ia menjadi penguasa Mesir dan Syria, merevitalisasi ekonomi, reorganisasi militer, dan menaklukkan negara-negara muslim kecil untuk dipersatukan melawan pasukan salib. Pada September 1174 M, Shalahuddin berhasil menundukkan Daulah Fatimiyah di Mesir untuk patuh pada kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Daulah Ayyubiyah yang bermadzhab Sunni akhirnya berdiri di Mesir menggantikan Daulah Fathimiyah yang bermazhab Syi’ah. Pada usia 45 tahun, Shalahuddin menjadi orang paling berpengaruh di dunia Islam. Selama 12 tahun, ia berhasil mempersatukan Mesopotamia, Mesir, Libya, Tunisia, wilayah barat jazirah Arab, dan Yaman di bawah kekhalifahan Ayyubiyah. Kota Damaskus di Syria menjadi pusat pemerintahannya. Shalahuddin wafat di Damaskus pada tahun 1193 M pada usia 57 tahun.
Shalahuddin memiliki kemampuan memimpin, dibuktikan dengan caranya memilih para Wazir. Ia mengangkat orang-orang cerdas dan terdidik seperti Al-Qadhi Al-Fadhil dan Al-Katib Al-Isfahani. Sekretaris pribadinya adalah Bahruddin bin Syadad, yang kemudian dikenal sebagai penulis biografinya.
Shalahuddin tidak memusatkan kekuasaan di Mesir, melainkan membagi wilayah kekuasaannya kepada saudara-saudara dan keturunannya, sehingga melahirkan beberapa cabang dinasti Ayyubiyah:
Dalam perekonomian, ia bekerja sama dengan penguasa muslim di wilayah lain dan menggalakkan perdagangan dengan kota-kota di laut tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan. Shalahuddin dianggap sebagai pembaharu di Mesir karena mengembalikan mazhab sunni. Khalifah al Mustadi dari Bani Abbasiyah memberi gelar Al-Mu’izz li Amiiril mu miniin (penguasa yang mulia), serta memberikan Mesir, Naubah, Yaman, Tripoli Suriah dan Maghrib sebagai wilayah kekuasaan Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi pada tahun 1175 M. Sejak saat itulah Shalahuddin dianggap sebagai Sultanul Islam Wal Muslimiin (Pemimpin umat Islam dan kaum muslimin).
Shalahuddin dikenal sebagai perwira yang memiliki kecerdasan tinggi dalam bidang militer. Kekuatan militernya terkenal sangat tangguh, diperkuat oleh pasukan Barbar Turki, dan Afrika. Ia membangun tembok kota di Kairo dan bukit muqattam sebagai benteng pertahanan. Salah satu karya monumental adalah bangunan benteng pertahanan yang diberi nama Qal’atul Jabal yang dibangun di Kairo pada tahun 1183 M.
Kehidupan Shalahuddin penuh dengan perjuangan dalam rangka menunaikan tugas negara dan agama. Shalahuddin seorang kesatria dan memiliki toleransi yang tinggi. Ketika menguasai Iskandariyah, ia tetap mengunjungi orang-orang Kristen. Ketika perdamaian tercapai dengan tentara salib, ia mengizinkan orang-orang Kristen berziarah ke Baitul Makdis.
Sebagai penguasa pertama Daulah Ayyubiyah, Shalahuddin berusaha menyatukan propinsi-propinsi Arab terutama di Mesir dan Syam pada satu daulah kekuasaan. Usaha ini mendapat tantangan dari orang-orang yang merasa terancam dengan kepemimpinannya. Usaha-usaha yang dilakukan Shalahuddin antara lain:
a. Memadamkan pemberontakan Hajib, kepala rumah tangga Khalifah Al Adhid, sekaligus perluasan wilayah Mesir sampai selatan Nubiah (568 H/1173 M)
b. Perluasan wilayah Al-Ayyubiyah ke Yaman (569 H/1173 M)
c. Perluasan wilayah Al-Ayyubi ke Damaskus dan Mosul (570 H/1175 M).
Tujuan Shalahuddin menyatukan Mesir, Suriah, Nubah, Yaman, Tripoli, dan Wilayah-Wilayah yang lainnya dibawah komando Al Ayyubiyah adalah terjadinya koalisi umat Islam yang kuat dalam melawan gempuran-gempuran tentara salib. Usaha-usaha yang dilakukan menuai hasil yang gemilang. Perang Salib yang terjadi pada masa Shalahuddin adalah Perang Salib periode kedua yang berlangsung sekitar tahun 1144-1192 M. Periode ini disebut periode reaksi umat Islam, terutama bertujuan membebaskan kembali Baitul Maqdis (Al-Aqsha).
a. Pertempuran Shafuriyah (583 H/1187 M)
b. Pertempuran Hittin (Bulan Juli 583 H/1187 M)
c. Pembebasan Al-Quds/Baitul Maqdis (27 Rajab 583 H/1187 M).
Shalahuddin adalah pahlawan besar bagi umat Islam. Kecintaannya terhadap agama dan umat Islam telah menempatkan sebagian lembaran hidupnya untuk menegakkan harga diri umat Islam. Kehadirannya dalam perang salib merupakan anugerah. Strategi yang dikembangkan oleh Shalahuddin dalam membangun koalisi umat Islam benar-benar telah menyatukan kekuatan umat Islam dalam membela agamanya. Keperwiraan Shalahuddin terukir dalam sejarah, tidak hanya diakui oleh kaum muslimin tetapi juga oleh kaum Kristen.
Al-Adil, nama lengkapnya Al-Malik Al-Adil Saifuddin Abu Bakar bin Ayyub, menjadi penguasa ke-4 Dinasti Ayyubiyah yang memerintah pada tahun 596-615 H/1200-1218 M berkedudukan di Damaskus. Beliau putra Najmuddin Ayyub yang merupakan saudara muda Shalahuddin Yusuf Al Ayyubi, dia menjadi Sultan menggantikan Al-Afdal yang gugur dalam peperangan. Al-Adil merupakan seorang pemimpin pemerintahan dan pengatur strategi yang berbakat dan efektif.
Nama lengkap Al-Kamil, adalah Al-Malik Al-Kamil Nasruddin Abu Al Maali Muhammad. Al-Kamil adalah putra dari Al-Adil. Pada tahun 1218 Al-Kamil memimpin pertahanan menghadapi pasukan salib yang mengepung kota Dimyat (Damietta) dan kemudian menjadi Sultan setelah ayahnya wafat. Pada tahun 1219, hampir kehilangan tahta karena konspirasi kaum Kristen koptik. Al-Kamil kemudian pergi ke Yaman untuk menghindari konspirasi itu, dan konspirasi itu berhasil dipadamkan oleh saudaranya bernama Al-Mu’azzam yang menjabat sebagai Gubernur Suriah. Pada bulan Februari tahun 1229 M, Al-Kamil menyepakati perdamaian selama 10 tahun dengan Frederick II, yang berisi antara lain:
Al-Kamil meninggal dunia pada tahun 1238 M. Kedudukannya sebagai Sultan digantikan oleh Salih Al-Ayyubi.
Nama lengkapnya Abu Al-Futuh Yahya bin Habash bin Amirak Shihab al-Din as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/1153 M di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjan. Ia memiliki banyak gelar di antaranya, Shaikh al-Ishraq, Master of Illuminationist, al-Hakim, ash-Shahid, the Martyr, dan al-Maqtul. Suhrawardi melakukan banyak perjalanan untuk menuntut ilmu. Ia pergi ke Maragha, di kawasan Azerbaijan. Di kota ini, Suhrawardi belajar filsafat, hukum dan teologi kepada Majd Al-Din Al-Jili. Juga memperdalam filsafat kepada Fakhr al Din al-Mardini. Selanjutnya ke Isfahan, Iran Tengah dan belajar logika kepada Zahir Al-Din Al-Qari. Juga mempelajari logika dari buku al-Basa’ir al-Nasiriyyah karya Umar ibn Sahlan Al-Sawi. Dari Isfahan dilanjutkan ke Anatolia Tenggara dan diterima dengan baik oleh pangeran Bani Saljuq. Setelah itu pengembaraan Suhrawardi berlanjut ke Persia, pusat lahirnya tokoh-tokoh sufi. Di sini Suhrawardi tertarik seorang sufi sekaligus filosof.
Dalam kitab Awarif al-Ma’arif dibahas tentang latihan rohani praktis terdiri dari :
As-Suhrawardi mendapatkan gelar “Al-Maqtul” karena mendapatkan fitnah dari sebagian orang yang menuduhnya telah mengajarkan aqidah yang sesat dan akhirnya dihukum mati oleh pengeran Az-Zahir, putra Sultan Salahuddin Al-Ayyubi atas desakan dari beberapa pihak.
Pemikiran teosofi Suhrawardi disebut konsep cahaya (iluminasi, ishraqiyyah) yang lahir sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah ishraqi sendiri sebagai simbol geografis mengandung makna timur sebagai dunia cahaya. Proses iluminasi cahaya-cahaya Suhrawardi dapat diilustrasikan sebagai berikut: dimulai dari Nur al-Anwar yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada. La Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Ia adalah Allah. Nur Al-Anwar ini hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut Nur Al-Aqrab. Selain Nur Al-Aqrab tidak ada lainnya yang muncul bersamaan dengan cahaya terdekat. Dari Nur Al-Aqrab (cahaya pertama) muncul cahaya kedua, dari cahaya kedua muncul cahaya ketiga, dari cahaya ketiga timbul cahaya keempat, dari cahaya keempat timbul cahaya kelima, dari cahaya kelima timbul cahaya keenam, begitu seterusnya hingga mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak. Pada setiap tingkat penyinaran setiap cahaya menerima pancaran langsung dari Nur Al-Anwar, dan tiap-tiap cahaya dominator meneruskan cahayanya ke masingmasing cahaya yang berada di bawahnya, sehingga setiap cahaya yang berada dari semua cahaya yang berada di atasnya sejumlah pancaran yang dimiliki oleh di bawah selalu menerima pancaran dari Nur Al-Anwar secara langsung dan pancaran cahaya tersebut. Dengan demikian, semakin bertambah ke bawah tingkat suatu Cahaya maka semakin banyak pula ia menerima pancaran.
Karya-karya Suhrawardi di antaranya: kitab At-Talwihat al-Lauhiyyat al ‘Arshiyyat, Al-Muqawamat, dan Hikmah al-‘Ishraq yang membahas aliran paripatetik Al-Lamahat, Hayakil al-Nur, dan Risalah fi al’Ishraq yang membahas filsafat yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami, Qissah al-Ghurbah al Gharbiyyah. Al-‘Aql al-Ahmar, dan Yauman ma’a Jama’at al-Sufiyyin’ ulasan perijelasan sufistik menggunakan lambang yang sulit dipahami dan, Risalah al-Tair dan Risalah fi al-‘Ishq terjemahan dari filsafat klasik, dan Al-Waridat wa al-Taqdisat berisi serangkaian do’a, dan lain-lain.
Nama lengkapnya, Kamaluddin Abu al Qosim Umar bin Ahmad bin Haibatullah bin Abi Jaradah Al Aqil, berasal dari bani Jaradah yang bermigrasi dari Bashrah ke Allepo karena wabah penyakit. Al-Adhim lahir di Allepo, ayahnya menjadi Qadhi Madzhab Hanafi di kota itu. Sejak tahun 616H/1219M. Mulai mengajar di Allepo, setelah mendalami berbagai pengetahuan di Allepo, Baitul Maqdis, Damaskus, Hijaz dan Irak. Kemudian menjadi Qadhi di Allepo pada zaman Amir Al-Aziz dan Al-Nashir dari dinasti Ayubiyah di Allepo, dan menjadi dubes kedua penguasa ini di Baghdad dan Kairo.
Karya-karya Al-Adhim di antaranya, Zubdah al hallab min tarikh Hallaba, Bughyah disusun secara at Thalib fi Tharikh Halaba, tentang sejarah Allepo / Halaba yang disusun alfabetik terdiri dari 40 juz atau 10 jilid.
Al-Adhim, melarikan diri ke Kairo hingga wafat, ketika tentara Mongol menguasai Halaba/ Allepo pada tahun 658 H/1160 Μ.
Nama lengkapnya Sarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah as Shanhaji al Bushiri, lahir pada tahun 1212 M di Maroko. Al-Bushiri seorang sufi besar, pengikut Thariqat Syadziliyah, dan menjadi salah satu murid Sulthonul Auliya Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily, r.a. Gurunya yang lain beberapa ulama tasawuf seperti Abu Hayyan, Abu Fath bin Ya’mari dan Al ‘Iz bin Jama’ah al Kanani Al Hamawi. Sejak masa kanak-kanak, dididik olek ayahnya sendiri dalam mempelajari Al Qur’an untuk memperdalam ilmu agama dan kesusastraan Arab.
Al-Bushiri dikenal sebagai orang yang wara (takut dosa). Pernah suatu ketika ia akan diangkat menjadi pegawai pemerintahan kerajaan Mesir, akan tetapi melihat perilaku pegawai kerajaan membuatnya menolak. Al-Bushiri lebih menonjol dalam bidang sastra dengan hasil karyanya yang terkenal yaitu Kasidah Burdah yang diciptakannya pada abad 7 Hijrah dan dibaca dalam berbagai acara. Kasidah Burdah adalah mutiara syair kecintaan kepada Rasulullah. Puisi Pujian Al-Bushiri kepada Nabi tidak terbatas pada sifat dan kualitas pribadi Nabi, tetapi mengungkap kelebihan Nabi yang utama yaitu mukjizat Al-Quran Beberapa ulama sufi yang menjadi guru Al-Bushiri, di antaranya, terutama pada bidang Imam Abu Hayyan, Abul Fath bin Sayyidunnas Al-Ya’mari Al Asybali Al Misri pengarang kitab ‘Uyunul Atsar fi Sirah Sayyidil Basyar. Al “Iz bin Jama’ah Al Kanani Al Hamawi salah seorang hakim di Mesir, dan masih banyak lagi kalangan ulama besar Mesir yang memberikan ilmu pengetahuannya kepada Al-Bushiri
Al Bushiri sebenamya tak hanya, terkenal dengan karya Burdahnya saja. La juga dikenal sebagai seorang ahli fikih, ilmu kalam dan ahli tasawuf.
Seorang ulama berpengaruh yang menginspirasi ulama-ulama Al-Azhar lainnya. Ahli ilmu mantiq, bayan, Hadist, fiqh, ilmu kedokteran, dan ilmu-ilmu lainya, sekaligus sebagai tokoh berpengaruh dalam pengembangan dan penyebaran madzhab Sunni di Mesir.
Ahli fiqih, hadis dan sejarah, beberapa karyanya adalah Asy Syihab (Bintang), Sanadus Sihah (Perawi Hadis-Hadis Sahih), Manaqib al Imam Asy Syafi’i (Budi Pekerti Imam Syafi’i), Anba’ Al Anbiya’ (Cerita Para Nabi), ‘Uyun al Ma’arif (Mata Air Ilmu Pengetahuan), Al Mukhtar fiz Zikir al Khutat wa Al Asar (Buku Sejarah Mesir).
Abu Abdullah Muhammad Al-Idrisi, seorang ahli geografi dan juga ahli botani yang mencatat penelitiannya dalam buku Kitab Al-Jami’ li Asytat anNabat (Kitab kumpulan dan Tanaman). Ad-Dawudi, seorang ahli botani, pengarang kitab Nuzhah an-Nufus wa al-Afkar Ma’rifah wa al-Ahjar wa alAsyjar (kitab komprehensif tentang Identifikasi Tanaman, Bebatuan, dan Pepohonan). Syamsuddin Khalikan, seorang ahli sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al-‘Ayan. Abul Qosim al-Manfaluti, sosok ulama yang ahli dalam bidang ilmu fiqih. Al Hufi, ilmuan ahli tata bahasa Arab. Abu Abdullah Muhammad bin Barakat, ulama ahli nahwu (gramatika bahasa Arab) dan ahli tafsir Al-Qur’an.