knowt logo

 Peran Pendidikan Agama Islam Dalam Menangkal Radikalisme dan Ekstremisme

Oleh : Indana Zulfa & Rexa Oktaviana M.P.

Indanazlf29@gmail.com & rexaoktavia4@gmail.com

 

Abstrak:

Indonesia, as a country that adheres to the ideology of unity in diversity, has apparently not been able to demonstrate its resilience in minimizing radical and extreme attitudes from some of its religious adherents. Shallowness towards religion and fanaticism results in a sense of superiority over followers of other religions. Religious radicalism causes violent actions due to the partial interpretation of the concept of jihad in Islam. The logical consequence of this interpretation is the juxtaposition of terrorism as the fruit of radicalism. Radical ideology or radicalism has grown so widely that it has penetrated the boundaries of formal and non-formal education. This article attempts to reveal the noble value of Islamic Religious Education (PAI) in preventing Islamic radicalism.

Keywords: Islamic Education, Radicalism

Pendahuluan

Masalah radikalisme dalam Islam yang masuk melalui lingkungan pendidikn formal seperti di sekolah maupun perguruan tinggi merupakan masalah yang sangat menarik jika dikaji karena masuknya paham tersebut sangat jarang diketahui oleh komponen-komponen pendidikan yang ada di sekolah. Seperti kasus dugaan radikalisme yang menjerat salah seoang dosen berinisial AB yang berasal dari IPB sebagai salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia pada September 2019[1]. Berlanjut pula pada kasus penusukan terhadap Wiranto (Menko Polhukam pada waktu itu) oleh pasangan suami stri yang diduga kelompok Islam radikal yang lantang menyuarakan pemerintah sebagai thaghut (berhala).

Hal tersebut menunjukkan bahwa seluruh elemen masyarakat Indonesia rentan terhadap paham-paham ekstrim terutama yang menggunakan agama sebagai basis ideologinya. Munculnya kasus-kasus kekerasan dan terorisme mengatasnamakan agama tersebut dilatarbelakangi oleh fenomena fanatisme keagamaan yang sempit sebagai dampak dari meluasnya gerakan radikalisme Islam. Zunly Nadia mengungkapkan bahwa radikalisme Islam dinisbatkan sebagai gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan serta mempertahankan keyakinan mereka[2].

 Dalam sejarah Indonesia pernah pula terjadi, seperti yang dilakukan oleh Kartosuwiryo yang awalnya adalah teman Soekarno dalam pergerakan perjuangan tetapi kemudian Kartosuwiryo memisahkan diri dari Soekarno karena beberapa alasan di antaranya perbedaan pendapat tentang hukum yang digunakan di Indonesia. Kemudian kelompok orang yang memiliki paham serupa, berusaha membentuk sebuah kelompok organisasi, seperti Hizbut Tahrir, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Ikhwanul Muslimin, Jamaah Islamiah dan lain-lain.

Mereka adalah kelompok Islam yang garis keras terhadap kondisi kehidupan religiusitas di Indonesia yang ingin menjadikan syariat Islam sebagai hukum di Indonesia. Mereka mendakwahkan maksud dan tujuannya kepada masyarakat sekitar untuk mendukung keinginannya dalam mewujudkan pemerintahan Islam di Indonesia. Salah satu pintu masuk paham atau pemikiran radikal ke Indonesia yaitu melalui aktifitas pendidikan dimana mayoritas pelajar Indonesia yang belajar di luar negeri. Yang amat disayangkan adalah pemahaman-pemahaman yang mereka dapatkan lantas ditelan bulat-bulat, dan memaksakan untuk diaplikasikan ke dalam sebuah sistem kehidupan masyarakat Indonesia yang amat berbeda dengan kehidupan di timur tengah tempet mereka belajar. Hal inilah yang menjadikan paham radikal menjadi sangat masif dan berkembang luas di Indonesia, khususnya pasca gerakan reformasi 1998 saat semua akses media telah bebas dari otoritas rezim pada waktu itu.

Dalam mendakwahkan maksud dan tujuannya mereka menawarkan ideologi-ideologi mereka dengan menggunakan cara kekerasan dan menampilkan aksi-aksi yang dapat merugikan banyak orang. Akan tetapi selain itu, mereka juga menggunakan cara yang halus bahkan hampir tidak kelihatan, yaitu dengan masuk ke dalam lembaga-lembaga pendidikan, baik lembaga formal maupun nonformal. kegagalan demi kegagalan menggunakan cara-cara yang cenderung keras menjadikan kelompok-kelompok ekstrim tersebut bermanufer masuk melalui jalur baru untuk mendapatkan pengikut yakni melalui media pendidikan formal, bulletin, media elektronik seperti radio televisi, buku-buku, teknologi Informasi internet dan saat ini merambah pada sektor pendidikan formal yang cenderung eksklusif dan tertutup.

Adapun pendidikan Islam adalah sebagian dari institusi yang ikut menjadi sorotan tatkala kerusuhan antar agama dan etnis muncul di beberapa tempat di Indonesia. Dengan tragedi tersebut, pendidikan dirasa perlu lebih ekstra memberikan bekal yang cukup terhadap peserta didik tentang bagaimana mereka mengembangkan sikap toleran terhadap perbedaandan keragaman yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, penyadaran akan urgensi pluralisme dan desain pendidikan inklusif (terbuka) diharapkan mampu memerankan fungsi edukasi yang mampu membentuk insan ramah dan berempati kepada kegelisahan setiap insan tanpa terkecuali, termasuk mereka yang nonmuslim[3]. Lalu pemahaman nilai-nilai pendidikan agama Islam Moderat seperti apakah yang seharusnya diperkuat dalam upaya menangkal, mengimbangi bahkan memerangi arus radikalisme?.

Pendidikan Islam Moderat

Pengertian Pendidikan Islam Kata “pendidikan”yang umum kita gunakan sekarang, dalam bahasa arabnya adalah “tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba”. Kata “pengajaran” dalam bahasa arabnya adalah “ta’lim” dengan kata kerjanya “alama”. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa arabnya “tarbiyah wa ta’lim” sedangkan “pendidikan islam” dalam bahasa arabnya adalah “tarbiyah islamiyah”. Kata kerja rabba (mendidik) sudah di gunakan pada zaman nabi muhammad SAW.[4] Pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan” (opvoeding) kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan “menumbuhkan” kemampuan dasar manusia.[5]

Jadi, Pendidikan Islam berarti sistem pendidikan yang memberikan kemampuan sseseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya, dengan kata lain pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia baik duniawi maupun ukhrawi. Definisi Pendidikan Islam Menurut Para Ahli:

1. Menurut Drs. Ahmad D. Marimba: Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukumhukum agama islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.

 2. Menurut Musthafa Al-Ghulayaini: Pendidikan Islam ialah menanamkan akhlak yang mulia di dalam jiwa anak dalam masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan air petunjuk dan nasihat, sehingga akhlak itu menjadi salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya kemudian buahnya berwujud keutamaan, kebaikan dan cinta bekerja untuk kemanfaatan tanah air.

Namun dari perbedaan pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan adanya titik persamaan yang secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut: Pendidikan Islam ialah bimbingan yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada anak didik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim.

Konsep Dasar Pendidikan Islam

Adapun konsep dasar pendidikan islam mencakup pengertian istilah tarbiyah, ta’lim dan ta’bid. Abdurrahman An-Nahlawi mengemukakan bahwa menurut kamus Bahasa Arab, lafaz AtTarbiyah berasal dari tiga kata, pertama, raba-yarbu yang berarti bertambah dan bertumbuh. Makna ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 39. Kedua, rabiya-yarba yang berarti menjadi besar. Ketiga, rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara.[6]

 Kata Tarbiyah merupakan masdar dari rabbayurabbi-tarbiyatan. Kata ini ditemukan dalam Al-Qur'an surat Al-Isra ayat 24

………

Artinya : ““Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Dr. Abdul Fattah Jalal, pengarang Min al-Usul at-Tarbiyah fii al-Islam (1977:15-24) mengatakan bahwa istilah ta’lim lebih luas dibanding tarbiyah yang sebenarnya berlaku hanya untuk pendidikan anak kecil. Yang dimaksudkan sebagai proses persiapan dan pengusahaan pada fase pertama pertumbuhan manusia (yang oleh Langeveld disebut pendidikan “pendahuluan”), atau menurut istilah yang populer disebut fase bayi dan kanak-kanak. Pandangan Fattah tersebut didasarkan pada dua ayat sebagaimana difirmankan Allah SWT surat al-Isra ayat 24 dan As-Syuara ayat 18.[7]

……

Artinya : Firaun menjawab: “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu.”

Kata ta’lim menurut Fattah merupakan proses yang terus menerus diusahakan manusia sejak lahir. Sehingga satu segi telah mencakup aspek kognisi dan pada segi lain tidak mengabaikan aspek afeksi dan psikomotorik. Fattah juga mendasarkan pandangan tersebut pada argumentasi bahwa Rasulullah saw, diutus sebagai Muallim, sebagai pendidik dan Allah SWT sendiri menegaskan posisi Rasul-Nya yang demikian itu dalam surat Al-Baqarah: 151.[8]

…….

Artinya : “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”

Dalam Pandangan Syaikh Muhammad An-Naquib Al- Attas, ada konotasi tertentu yang dapat membedakan antara term at-tarbiyah dari at-ta’lim, yaitu ruang lingkup at-ta’limlebih universal dari pada ruang lingkup at-tarbiyah, karena at- tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial. Lagi pula, makna at-tarbiyah lebih spesifik karena ditujukan pada objekobjek pemilikan yang berkaitan dengan jenis relasional, mengingat pemilikan yang sebenarnya hanyalah milik Allah semata. Akibatnya, sasarannya tidak hanya berlaku bagi umat manusia, tetapi termasuk juga spesies-spesies lainnya.[9]

Muhammad Nadi Al-Badri sebagaimana dikutip oleh Ramayulis mengemukakan, pada zaman klasik, orang hanya mengenal kata ta’dib untuk menunjukkan kegiatan pendidikan. Pengertian seperti ini terus digunakan sepanjang masa kejayaan islam, sehingga semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh akal manusia pada masa itu disebut adab, baik yang berhubungan langsung dengan islam seperti fiqh, tafsir, tauhid, ilmu bahasa arab, dan sebagainya, maupun yang tidak berhubungan langsung seperti ilmu fisika, filsafat, astronomi, kedokteran, farmasi, dan lain-lain. Semua buku yang memuat ilmu tersebut dinamai kutub alaadab. Dengan demikian terkenallah AlAdab Al-Kabir dan Al-Adab Ash-Shagir yang ditulis oleh Ibnu Al-Muqaffa (W. 760 M).[10]

Radikalisme dan Seluk beluknya

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme berarti (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik (Bahasa 2008, 1130). Radikalisme tidak bisa dilabelkan hanya kepada Islam, karena radikalisme bisa menjangkit pada sector apapun dalam kehidupa manusia baik ekonomi, politik, problem sosial dan lain sebagainya tak terkecuali agama. Namun dikarenakan maraknya aksi-aksi radikalisme yang terjadi dalam beberapa kurun waktu ini lebih cenderung ke dalam isu-isu ideologi keagamaan, maka seolah-olah agama adalah sarang radikalisme. Oleh karena itu menjadi benar tindakan yang dilakukan leh pemerintah dan aparat untuk memberikan edukasi tentang hakikat radikalisme dalam konteks yang lebih luas.

Hal tersebut diperlukan guna menghindari stigma negatif terhadap suatu agama akan radikalisme yang sebenarnya hanya diperagakan oleh sebagian oknum ummat yang tidak bertanggung jawab dalam menjaga kestabilan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada 17 Juli 2016 lalu pemimpin kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur, Santoso alias AbuWardah tewas dalam operasi yang dilakukan oleh TNI,[11] banyak pihak menilai hal itu sebagi keberhasilan ikhtiar Negara menumpas akar-akar terorisme. Namun mungkinkah peristiwa tertembaknya seseorang dapat menjelaskan bahwa gerakan radikalisme di Indonesia telah berakhir ? Radikalisme dalam agama ibarat pisau bermata dua, di satu sisi, makna positif dari radikalisme adalah spirit menuju perubahan ke arah lebih baik yang lazim disebut ishlah (perbaikan) atau tajdid (pembaharuan).

Dengan begitu radikalisme tidaklah bisa disamakan dengan ektrimitas atau kekerasan, ia akan sangat bermakna apabila dijalankan melalui pemahaman agama yang menyeluruh dan diaplikasikan untuk ranah pribadi. Namun di sisi lain, radikalisme akan menjadi berbahaya jika sampai pada tataran ghuluw (melampaui batas) dan ifrath (keterlaluan) ketika dipaksakan pada pemeluk baik internal agama maupun agama lain.[12]

Fenomena radikalisme Islam yang sering terjadi di beberapa negara, terutama negara Timur Tengah bukanlah fenomena yang baru dalam sejarah Islam. Banyak sekali faktor yang melatarbelakangi munculnya fenomena tersebut, di antaranya adalah faktor budaya, teologi, sosial ekonomi dan politik. Di Indonesia juga terjadi hal yang demikian meskipun kita tidak boleh menyamakan antara kaum Khawarij dengan sekelompok orang yang mengadakan pemberontakan terhadap suatu sistem yang memang sudah ditetapkan oleh pemerintah yang sah karena mereka mempunyai latar belakang yang bisa dikatakan berbeda.[13]

Radikalisme sebagai fenomena internasional akan menjadi kuat dan berbahaya bagi stabilitas keamanan dunia manakala mereka yang beragama justru memiliki peran besar di dalamnya. Hal itu dikarenakan kaum radikalis yang beragama akan cepat memperoleh fatwafatwa fiqhiyyah bagi perilakunya yang menjadikan dirinya merasa puas dengan fatwa-fatwa tersebut, seperti fikrah at-takfir (ide pengkafiran), merampas hak milik orang lain, menyandera wanita dan anak-anak, hingga membunuh mereka yang dianggap kafir. Itulah sebabnya mengapa radikalisme agama dikatakan oleh banyak kalangan sebagai benih munculnya terorisme.[14]

Ciri-Ciri Radikalisme Islam

Jihad oleh tokoh-tokoh ekstrimis didefinisikan sebagai misi suci menegakkan ajaran agama serta cara pintas masuk surga dengan melakukan aksi bom bunuh diri serta penerangan secara membabi buta kepada target yang diyakini sebagai orang kafir atau thaghut. Skenario doktrin jihad ini menjadi semakin efektif dengan cara memboncengi isu-isu ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, penistaan agama, dan pelanggaran HAM. Kondisi seperti ini dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya para ekstrimis telah merobohkan bangunan ajaran Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin, yaitu Islam yang penuh kesantunan, Islam dengan ajaran damainya adalah rahmat bagi alam semesta. Ekstrimisme telah mengakibatkan persepsi yang salah terhadap umat Islam, seolah-olah Islam sebagai penebar teror, kebencian dan permusuhan yang menakutkan. Bahkan di beberapa Negara terjangkit wabah Islamphobia. Padahal kebrutalan tersebut hanya dilakukan oleh segelintir kelompok dari orang-orang yang pada prinsipnya telah berseberangan dan jauh menyimpang dari ajaran Islam itu sendiri.[15]

Secara sederhana radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang ditandai oleh empat hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu:

pertama, sikap tidak toleran dan tidak mau menghargai pendapat atau keyakinan orang lain.

Kedua, sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri dan menganggap orang lain salah.

Ketiga, sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan orang kebanyakan.

Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.[16]

Adapun faktor penyebab terjadinya Islam radikal dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, faktor agama, yaitu sebagai bentuk purifikasi ajaran Islam dan pengaplikasian khilafah Islamiyah di muka bumi. Terdorongnya semangat Islamisasi secara global ini tercetus sebagai solusi utama untuk memperbaiki berbagai permasalahan yang oleh golongan radikal dipandang sebagai akibat semakin menjauhnya manusia dariagama

Kedua, faktor sosial-politik. Di sini terlihat jelas bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi. Penyimpangan dan ketimpangan sosial yang merugikan komunitas muslim, menyebabkan terjadinya gerakan radikalisme yang ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan.

Ketiga, faktor pendidikan. Minimnya jenjang pendidikan, mengakibatkan minimnya informasi pengetahuan yang didapat, ditambah dengan kurangnya dasar keagamaan mengakibatkan seseorang mudah menerima informasi keagamaan dari orang yang dianggap tinggi keilmuannya tanpa dicerna terlebih dahulu, hal ini akan menjadi bumerang jika informasi didapat dari orang yang salah.

Keempat, faktor kultural. Barat dianggap oleh kalangan muslim telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Barat, dengan sekularismenya, sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa timur dan Islam, juga dianggap bahaya terbesar keberlangsungan moralitas Islam.

Kelima, faktor ideologis anti westernisasi. Westernisasi merupakan suatu pemikiran yang membahayakan muslim dalam mengaplikasikan syari'at Islam sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syari'at Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.[17]

Penyebaran Radikalisme Islam Melalui Lembaga Pendidikan

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius pernah menegaskan bahwa saat ini tidak ada lini yang benar-benar steril dari radikalisme, termasuk dunia pendidikan. Pernyataan ini menarik disikapi secara kritis dengan mencermati dua hal:

 Pertama, dunia pendidikan, baik yang umum dan berbasis agama, memiliki potensi disusupi paham radikal dan teror. Sebagai contoh, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan.

agama Islam tertua di Indonesia berulang kali dikaitkan dengan isu radikalisme dan terorisme. Padahal, pondok pesantren yang jumlahnya mencapai 28.000 di nusantara, sama sekali tidak mengajarkan Islam radikal dan Islam teror, melainkan pendidikan Islam yang rahmatan lil alamin.

Kedua, mengokohkan peran institusi pendidikan Islam pondok pesantren sebagai benteng menanggulangi radikalisme dan terorisme di Indonesia. Sebab, dengan pengajaran agama Islam di pondok pesantren tersebut dapat menghapus fenomena radikalisme maupun terorisme atas nama agama. Kedua fenomena tersebut menjadikan peran strategis pondok pesantren dalam menahan laju perkembangan bibit-bibit “pemikiran keras”membumi dalam ruang pendidikan di tanah air.[18]

Anak muda yang menjadi sasaran adalah anak-anak SMP dan SMA yang sedang tahap pembentukan kepribadian dan belum terlalu mengerti dasar-dasar agama. Paham keagamaan mereka diberikan disekolah dengan waktu yang sangat sedikit, satu jam dalam seminggu. Konsekwensinya, jika tidak mendapatkan pelajaran dari orang tua di rumah atau ustad di lingkungan mereka, tidak tertutup kemungkinan anak-anak ini mencari pemahaman agama secara liar. Perkara pendidikan agama disekolah tidak sebatas kurikulum dengan waktu yang sangat terbatas untuk pengajaran agama tapi juga buku teks pendidikan agama yang dikeluarkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Buku teks keagamaan menjadi sorotan masyarakat setelah beredarnya buku ajar yang berisi muatan intoleransi dan kekerasan di Jombang, Jawa Timur tahun lalu.[19]

Agama harus jadi instrumen kohesi sosial yang bisa jadikan kita semua toleran. Karena dalam agama kalau kita pelajari agama secara benar dan mendalam justru membentuk jiwa yang toleran damai. itu karakter pendidikan islam yang harus ditekankan di indonesia, sebagaimana dikatakan oleh Kamaruddin dalam konkow pendidikan, diskusi ahlidan tukar pendapat di Gedung Kementerian Pendidikan, Jakarta, Rabu (4/11/2015).

Kamaruddin menuturkan, meskipun Islam di Indonesia menuai pujian dari banyaknegara karena mampu menunjukkan sikap yang moderat dan toleran, bukti-bukti menunjukkan bahwa islam dalam bentuk yang lebih tidak toleran dan ekstrimis juga ada di negara ini. kecenderungan sikap ekstrimis kurang ditemukan di lembaga-lembaga pendidikan Islam, melainkan justru di lembaga pendidikan umum baik swasta maupun negeri. Berdasarkan penelitian, kata Kamaruddin, hanya 30% sekolah yang terpengaruh radikalisme yang dampaknya dapat meluas jika tidak segera diantisipasi. Jalur utama masuknya radikalisme di sekolah adalah organisasi masyarakat Islam radikal yang semakin meningkat dalam hal jumlah dan aktivitas.[20]

Nilai Luhur Pendidikan Agama Islam Anti Radikalisme

Implementasi pendidikan anti terorisme melalui pendidikan agama Islam moderat bertujuan untuk mewujudkan masyarakat muslim yang toleran dan cinta damai di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang plural. Sebagaimana kita ketahui, bangsa Indonesia hidup bersama dalam keragaman suku, agama, ras, dan adat kebiasaan. Akhir-akhir ini tak jarang keragaman tersebut, termasuk keragaman dalam hal agama ditunggangi oleh oknum-oknum tertentu untuk melakukan aksi terorisme. Alhasil agama yang diyakini oleh masyarakat Indonesia mengalami distorsi, termasuk agama Islam. Akibat aksi terorisme tersebut, Islam sebagai agama yang mengajarkan praktik toleransi kepada pemeluknya berubah menjadi agama yang seakan “garang” di mata pemeluk agama yang lain.

Di sinilah, implementasi pendidikan anti terorisme melalui pendidikan agama Islam moderat diharapkan dapat menciptakan masyarakat muslim yang toleran dan cinta damai baik terhadap sesama pemeluk agama Islam maupun pemeluk agama lainnya.[21]

Pendidikan Islam yang berada dipunggung guru bagai pedang bermata dua, di satu sisi bisa menangkal radikalisme, di sisi yang lain justru bisa melahirkan radikalisme agama. Pendidikan agama yang salah bisa menjadikan seseorang menjadi radikal. Di beberapa sekolah, siswa bukannya diperkenalkan dengan ajaran Islam yang penuh cinta, namun justru dikenalkan dengan ajaran yang keras, agresor, dan pembalas dendam. Oleh sebab iti pendidikan harus bisa berperan sebagai sarana membangun ketahanan individu dari masuknya nilai-nilai yang menyimpang dari kearifan lokal jati diri bangsa.

Untuk mencegah lahirnya radikalisme ini, perlunya merombak total carapandang terhadap agama Islam. Di sinilah peran guru sebagai pendidik menduduki posisi kunci. Karena di tangan merekalah, anak didik bisa dibentuk cara pandangnya pada agama dengan kacamata cinta. Ajarkan pada anak kecil nama Jamaliyyah bukan Jalaliyyah. P

endidikan agama Islam harus moderat, ini agama cinta kasih. Jadilah figur pendidik yang modal utamanya adalah kasih sayang kepada siswa. Ajarkan bahwa Islam itu adalah kasih sayang Allah Swt sebagai ramatan lil ‘alamin. Moderat dalam Islam jangan disalah artikan sebagai golongan yang tidak memiliki pendirian, namun moderat dalam artian mengambil jalan tengah yang mengedepankan aspek mashlahah al-mursalah sebagai konsekuensi atas fakta bahwa masyarakat Indonesia dilahirkan dengan beragam ras, suku, bahasa, adat, warna kulit serta keyakinan akan tuhan yang beragam.

Dalam Pendidikan agama Islam di sekolah pengajaran akan sejarah agama-agama yang ada di Indonesia menjadi urgen untuk diajarkan agar peserta didik memahami bagaimana transformasi kehidupan umat beragama yang terjadi di masyarakat Indonesia.

Dalam Islam, ajaran tentang toleransi bisa diaplikasikan lewat beberapa cara, di antaranya:

Pertama, berpegang pada prinsip kalimatun sawa (commomplatform) untuk pergaulan antar umat beragama dan berbagai kepentingan masyarakat yang plural. Titik persamaan ini terletak pada kebutuhan untuk mencintai tuhan, mencintai makhluk tuhan, dan mengakui suarahati nurani. Memberikan penguatan kepada peserta didik bahwa dijadikannya keyakinan yang berbeda pada manusia merupakan kehendak dari Allah SWT.

Kedua, menumbuhkan pemahaman keagamaan yang integratif, egaliter, inklusif, dan plural dengan melakukan penguatan metodologi terhadap kajian-kajian Islam, semisal pengembangan metode takwil (hermeneutik), serta pentingnya mendefinisikan ulang tentang diri dan orang lain. dalam hal ini bisa melalui pemberan materi mengenai antropologi agama, sosiologi dan lain sebagainya yang berkaitan dengan konstruksi kehidupan sosial kemasyarakatan dengan segala aspek yang membangunnya.

Termasuk mengkaji konsep-konsep yang selama ini dianggap telah baku, seperti konsep mukmin/kafir, muslim/munafik dan lain-lain.

Ketiga, mentradisikan musyawarah dan berdiskusi. Tradisi musyawarah ini akan menumbuhkan sikap toleran dan mengakui keberagaman pemikiran dan sikap setiap insan dalam mencari hal yang baik dan benar. Kebaikan dan kebenaran bisa datang dari manapun, termasuk dari orang yang dibenci sekalipun.

Untuk itu, pemahaman keagamaan harus di-bangun secara inklusif dan tidak mengedepankan klaim. Klaim kebenaran dari suatu kelompok dengan menafikan kebenaran dari kelompok lainhanya akan menimbulkan kecurigaan dan pertentangan.

Keempat, jaminan terhadap terpenuhinya lima hak dasar manusia,yakni: (1) hifdz al-diin, menjamin keyakinan agama masing-masing; (2) hifdz al-nafs, jaminan terhadap keselamatan jiwa setiap warga masya-rakat; (3) hifdz al-aql, menjamin setiap bentuk kreasi pikiran, baik bersifat intelektual maupun budaya dan seni; (4) hifdz al-nasl, menjamin kese-lamatan keturunan dan keluarga dengan menampilkan moral yang kuat;dan (5) hifdz al-mal, menjamin keselamatan harta benda dan hak kepemilikan.[22]

Konsep dasar tersebut secara dini harus ditanamkan pada setiap muslim lewat pendidikan sekolah maupun pendidikan di luar sekolah. Terkait dengan pendidikan agama, setiap pendidik harus mengajarkan agama secara integral-komprehensif dengan melihat kebenaran dari berbagai perspektif walaupun tetap harus meyakini kebenaran agama yang dianutnya.[23]

Hal ini dilakukan agar peserta didik mampu memetakan mana wilayah yang berkaitan dengan ranah pribadinya sebagai pemeluk agama dan mana wilayah yang berkaiatan dengan hubungan hidup dengan masyarakat yang tidak satu keyakinan dengannya.

Radikalisme lebih banyak disebabkan oleh adanya faham atau pemikiran yang sempit terhadap suatu fenomena. Oleh sebab itu jika radikalisme ingin dieliminir bahkan dihilangkan harus diawali dari pembinaan atau bimbingan cara pandang atau cara fikir terhadap suatu fenomena.

Nur Syam (2009) dalam buku Tantangan Multikulturalisme Indonesia memiliki analisis yang cukup menarik bahwa untuk melahirkan cara pandang yang tepat perlu belajar dari ideologi ahlussumahwal jamaah atau NU yang dicirikan dengan empat hal;

Pertama, tawasuth (moderat) mengambil jalan tengah yang lebih bijaksana. Doktrin ini mengajarkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk melaksanakan suatu aktivitas tetapi sebebas apapun manusia masih dibatasi oleh kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Artinya dalam menjalankan tugasnya di muka bumi sebagai penegak agama Allah tidak lantas menjadikan manusia lupa bahwa kehendak untuk menjadikan manusia beragam adalah mutlak kehendak Allah. Jika ingin meraih kesuksesan, manusia wajib ikhtiyar secara optimal tetapi jangan lupa bahwa Allah swt juga ikut menentukan keberhasilan. Jika demikian maka Radikalisme dan ektrimisme cenderung pada sikap israf.

Kedua, tawazun (keseimbangan). Doktrin ini mengajarkan bahwa manusia dalam memandang suatu realitas tidak boleh bersifat ektrem baik kekiri atupun ke kanan. Artinya manusia yang baik tidak terlalu berlebihan pada saat senang atau benci kepada sesuatu. Hal ini didasarkan asumsi bahwa sebaik baik menurut pandangan manusia belum tentu baik menurut Allah swt, sebaliknya sejelek jelek dalam pandangan manusia juga belum tentu jelek menurut Allah swt.

Ketiga, i’tidal (keadilan). Doktrin ini mengajarkan bahwa diantara sesama manusia harus saling memebrikan kepercayaan dan kepercayaan yang dibangun harus memberikan peran secara proporsional. Dunia akan cepat hancur jika masing masing-masing elemen tidak memiliki kesadaran untuk melaksanakan peran masing-masing secara proporsional.

Keempat, tatharruf (universsalisme). Doktrin ini mengajarkan setiap manusia agar lebih mengedepankan pemahaman Islam yang bersifat universal (global). Kebenaran Islam dilihat dari norma-norma yang bersifat umum seperti keadilan, kemanusiaan, keselamatan dan kesejahteraan.

Secara garis besar dari nilai-nilai yang telah dipaparkan di atas berpusat pada penguatan keshalehan vertikal (Hablumminallah), dan keshalehan horizontal (hablumminannas).

Setrategi menolak paham ekstrem dalam pendidikan Islam

1.      Bangun kurikulum berpikir kritis

Kelompok terorisme kerap menyebarkan ideologi mereka melalui propaganda yang menggugah. Artinya, salah satu cara terbaik untuk memutusnya adalah dengan mempromosikan muatan kurikulum berpikir kritis. Kurikulum berpikir kritis dapat membangun kemampuan anak untuk menyelesaikan masalah dan melihat segala sesuatu dengan cara pandang yang beragam – terutama masalah terkait identitas, keberagaman, dan ideologi yang muncul seiring mereka tumbuh dewasa. Dalam konteks radikalisme, kemampuan berpikir kritis ini diharapkan membuat anak menjadi lebih skeptis terhadap penyelesaian berbagai masalah dan konflik melalui cara-cara kekerasan.

Langkah ini patut diapresiasi karena di antaranya memuat kurikulum berpikir kritis sejak sekolah dasar (SD) hingga pendidikan tinggi. Strategi ini juga sejalan dengan rekomendasi praktik global untuk mengajarkan berpikir kritis sedini mungkin sesuai perkembangan kognitif anak

2.      Gencarkan pendidikan literasi media

Kelompok terorisme seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menggunakan media sosial sebagai sarana menyebarkan propaganda dan merekrut anggota baru. Strategi tersebut berhasil memengaruhi banyak warga Indonesia untuk berangkat ke wilayah konflik dan berjuang di bawah bendera ISIS.

Beberapa kelompok terorisme biasanya menggunakan kewajiban agama sebagai propaganda untuk menggalang dukungan. Masalah sosial lain seperti kemiskinan dan ketimpangan juga dimanfaatkan sebagai pesan yang memikat banyak orang untuk bergabung. Untuk mencegahnya, sistem pendidikan dapat menyediakan muatan literasi media agar anak memiliki kemampuan dalam memilih dan mengevaluasi informasi yang dikonsumsi.

3.      Bangun ruang yang aman bagi anak untuk berdiskusi dan berpendapat

Dua rekomendasi di atas hanya akan dapat terlaksana jika anak mendapatkan kesempatan sebanyak-banyaknya untuk melatih cara mereka berpikir. Tentunya ini tidak terlepas dari seberapa terbuka dan aman lingkungan sekitar menerima pendapat anak.

Salah satu lingkungan terdekat anak, yakni sekolah, dapat berperan dengan cara menerapkan praktik pembelajaran yang membantu anak memahami berbagai topik dan materi yang kompleks yang biasanya tabu – dari agama, identitas, hingga tradisi – secara lebih terbuka.

Dengan iklim belajar seperti ini, anak akan semakin terlatih untuk menghormati proses diskusi dan berani mempertanyakan kembali berbagai asumsi, prasangka, dan bias yang selama ini mereka yakini. Salah satu praktik yang dapat diterapkan adalah membangun ruang diskusi di kelas untuk menceritakan pengalaman pribadi anak mengenai berbagai topik menantang di atas.

4.      Merancang pendidikan anti-radikalisme: jalan panjang ke depan

Saat ini, sistem pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan untuk memenuhi tiga rekomendasi di atas.

Masyarakat kita  masih menemui berbagai hambatan terkait akses pendidikan yang terbatas, kualitas dan ketersediaan tenaga pengajar yang masih rendah, fasilitas pendidikan yang tidak merata, serta kurikulum yang terus berubah setiap tahun tanpa proses evaluasi yang memadai[24].

 

Kesimpulan

Pendidikan moderasi beragama adalah hal penting yang perlu mendapat perhatian khusus dari para pemerhati Pendidikan karena memiliki peran penting dalam memerangi radikalisme dan ekstremisme agama khusus nya bagi Lembaga yang memiliki siswa dengan heterogonitas latar belakang, yang menjadi  kekhawatiran bagi Masyarakat karena dampak nya dapat mengancam perdamaian,keamanan sosial,  dan stabilitas di sebuah negara. Peran islam moderat bisa menanggulangi radikalisme di indonesia dengan cara deradikalisasi melalui Pendidikan islam yang multikultur untuk membina peserta didik agar dapat memahami agama secara menyeluruh dan akhirnya mampu membentuk perilaku para siswa yang multi kultur dan multireligus dengan menerapkan nilai nilai islam yang moderat.

 


 

Daftar Pustaka

Abdallah, Opini harian Koran Tempo, edisi, 13 September 2016

Buddy Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta:Paramadina, 1994), 546-549.

Hasyim Syafiq, Penanggulangan Radikalisme dan Ekstremisme Berbasis Agama Kun Wazis, Isu Radikalisme-Terorisme danPendidikan Ponpes REPUBLIKA.CO.ID, Sabtu , 17 June 2017

Laisa Emna, Islam dan Radikalisme (Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014), hlm.2. Mulyadi Arif,Peran guru agama Islam dalam Menanggulangi Paham Radikalisme, (Safira Vol 2/No.1/2017) hal.50

Nadia Zunly, Akar-akar Radikalisme Islam dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur’an Karya Sayyid Quth,Mukaddimah, 18 (2), 2012: 301-323

Zakiah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000).

Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991).

Roqib. Moh, Filsafat Islam, 179.

Purwanto M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung: Remaja Rosdakarya,1995), hlm. 15.

Wiyani, Novan Ardy, Pendidikan Agama Islam Berbasis Anti Terorisme Di SMA, (Jurnal Pendidikan Islam :Volume II, Nomor 1, Juni 2013/1434), hlm. 67-68

Agilasshofie,RadikalismeGerakanIslam,http://agilasshofie.blogspot.com/2011/10/radi kalisme-gerakan politik.html, diakses pada 15 November 2017

http://kabar24.bisnis.com/read/20151104/255/488782/pendidikan-agama-islamdi-sekolah-cegah-paham-radikalisme. Diakses pada 15 November 2017

http://www.ahlulbaitindonesia.or.id/berita/peran-kunci-pendidikan-dalam-menangkalradikalisme-agama/, diakses pada 15 Nov 2017.

https://theconversation.com/tiga-cara-sistem-pendidikan-indonesia-bisa-berperan-mencegah-radikalisme-dan-ideologi-kekerasan-161282



[1] Menjadi trending topik di berbagai situs berita harian online dan cetak

[2] Zunly Nadia, Akar-akar Radikalisme Islam dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur’an Karya Sayyid Quth,Mukaddimah, 18 (2), 2012: 301-323

[3] Moh. Roqib, Filsafat Islam, 179.

[4] Zakiah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000), h. 25

[5] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 32.

[6] Ibid, h. 22

[7] Abdul Halim Soebahar. Wawasan Baru Pendidikan Islam, h. 4

[8] Ibid, h. 5

[9] Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan, h. 24-25

[10] Ibid, h. 26

[11] Trending topik di berbagai situs berita online dan cetak

[12] Emna Laisa, Islam dan Radikalisme (Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014), hlm.2.

[13] Arif Mulyadi,Peran guru agama Islam dalam Menanggulangi Paham Radikalisme, (Safira Vol 2/No.1/2017) hal.50

[14] Novan Ardy Wiyani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Anti Terorisme Di SMA,(Jurnal Pendidikan Islam :Volume II, Nomor 1, Juni 2013/1434), hlm. 67-68

[15] Radikalisme agama tidak hanya dikenal dalam sejarah dan dunia Islam, tetapi juga terdapat pada agama lain selain Islam. Kelompok radikal Sikh di kalangan umat Hindu misalnya, mereka menyatakan perang terhadap pemerintah India sehingga salah seorang anggotanya yang bernamaLal Singh dituduh sebagai pelaku peledakan jet Air India yang menewaskan seluruh penumpangnya(329 orang) dari penerbangan dari Toronto ke London. Dari kalangan Kristen, Rev. Paul Hillmenembak mati Dr. John Britton dan pengawal pribadinya di klinik aborsi di Pensacola Floridadengan dalih bahwa ajaran Bible membolehkan membunuhnya karena telah melakukan praktikaborsi dengan membunuh calon-calon bayi. Pembunuhan tersebut disambut dengan g

[16] Agilasshofie,RadikalismeGerakanIslam,http://agilasshofie.blogspot.com/2011/10/radikalism e-gerakan politik.html, diakses pada 15 November 2017

[17] Emna Laisa, Islam dan Radikalisme (Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014), hlm.6-7

[18] KunWazis, Isu Radikalisme-Terorisme danPendidikan Ponpes REPUBLIKA.CO.ID, Sabtu , 17 June 2017,

[19] Abdallah, Opini harian Koran Tempo, edisi, 13 September 2016.

[20] http://kabar24.bisnis.com/read/20151104/255/488782/pendidikan-agama-islam-disekolah-cegah-paham-radikalisme. Diakses pada 15 November 2017

[21] Novan Ardy Wiyani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Anti Terorisme Di SMA,(Jurnal Pendidikan Islam :Volume II, Nomor 1, Juni 2013/1434), hlm. 67-68.

[22] 9Buddy Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta:Paramadina, 1994), 546-549

[23] Emna Laisa, Islam dan Radikalisme (Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014), hlm.15

[24] https://theconversation.com/tiga-cara-sistem-pendidikan-indonesia-bisa-berperan-mencegah-radikalisme-dan-ideologi-kekerasan-161282

 Peran Pendidikan Agama Islam Dalam Menangkal Radikalisme dan Ekstremisme

Oleh : Indana Zulfa & Rexa Oktaviana M.P.

Indanazlf29@gmail.com & rexaoktavia4@gmail.com

 

Abstrak:

Indonesia, as a country that adheres to the ideology of unity in diversity, has apparently not been able to demonstrate its resilience in minimizing radical and extreme attitudes from some of its religious adherents. Shallowness towards religion and fanaticism results in a sense of superiority over followers of other religions. Religious radicalism causes violent actions due to the partial interpretation of the concept of jihad in Islam. The logical consequence of this interpretation is the juxtaposition of terrorism as the fruit of radicalism. Radical ideology or radicalism has grown so widely that it has penetrated the boundaries of formal and non-formal education. This article attempts to reveal the noble value of Islamic Religious Education (PAI) in preventing Islamic radicalism.

Keywords: Islamic Education, Radicalism

Pendahuluan

Masalah radikalisme dalam Islam yang masuk melalui lingkungan pendidikn formal seperti di sekolah maupun perguruan tinggi merupakan masalah yang sangat menarik jika dikaji karena masuknya paham tersebut sangat jarang diketahui oleh komponen-komponen pendidikan yang ada di sekolah. Seperti kasus dugaan radikalisme yang menjerat salah seoang dosen berinisial AB yang berasal dari IPB sebagai salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia pada September 2019[1]. Berlanjut pula pada kasus penusukan terhadap Wiranto (Menko Polhukam pada waktu itu) oleh pasangan suami stri yang diduga kelompok Islam radikal yang lantang menyuarakan pemerintah sebagai thaghut (berhala).

Hal tersebut menunjukkan bahwa seluruh elemen masyarakat Indonesia rentan terhadap paham-paham ekstrim terutama yang menggunakan agama sebagai basis ideologinya. Munculnya kasus-kasus kekerasan dan terorisme mengatasnamakan agama tersebut dilatarbelakangi oleh fenomena fanatisme keagamaan yang sempit sebagai dampak dari meluasnya gerakan radikalisme Islam. Zunly Nadia mengungkapkan bahwa radikalisme Islam dinisbatkan sebagai gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan serta mempertahankan keyakinan mereka[2].

 Dalam sejarah Indonesia pernah pula terjadi, seperti yang dilakukan oleh Kartosuwiryo yang awalnya adalah teman Soekarno dalam pergerakan perjuangan tetapi kemudian Kartosuwiryo memisahkan diri dari Soekarno karena beberapa alasan di antaranya perbedaan pendapat tentang hukum yang digunakan di Indonesia. Kemudian kelompok orang yang memiliki paham serupa, berusaha membentuk sebuah kelompok organisasi, seperti Hizbut Tahrir, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Ikhwanul Muslimin, Jamaah Islamiah dan lain-lain.

Mereka adalah kelompok Islam yang garis keras terhadap kondisi kehidupan religiusitas di Indonesia yang ingin menjadikan syariat Islam sebagai hukum di Indonesia. Mereka mendakwahkan maksud dan tujuannya kepada masyarakat sekitar untuk mendukung keinginannya dalam mewujudkan pemerintahan Islam di Indonesia. Salah satu pintu masuk paham atau pemikiran radikal ke Indonesia yaitu melalui aktifitas pendidikan dimana mayoritas pelajar Indonesia yang belajar di luar negeri. Yang amat disayangkan adalah pemahaman-pemahaman yang mereka dapatkan lantas ditelan bulat-bulat, dan memaksakan untuk diaplikasikan ke dalam sebuah sistem kehidupan masyarakat Indonesia yang amat berbeda dengan kehidupan di timur tengah tempet mereka belajar. Hal inilah yang menjadikan paham radikal menjadi sangat masif dan berkembang luas di Indonesia, khususnya pasca gerakan reformasi 1998 saat semua akses media telah bebas dari otoritas rezim pada waktu itu.

Dalam mendakwahkan maksud dan tujuannya mereka menawarkan ideologi-ideologi mereka dengan menggunakan cara kekerasan dan menampilkan aksi-aksi yang dapat merugikan banyak orang. Akan tetapi selain itu, mereka juga menggunakan cara yang halus bahkan hampir tidak kelihatan, yaitu dengan masuk ke dalam lembaga-lembaga pendidikan, baik lembaga formal maupun nonformal. kegagalan demi kegagalan menggunakan cara-cara yang cenderung keras menjadikan kelompok-kelompok ekstrim tersebut bermanufer masuk melalui jalur baru untuk mendapatkan pengikut yakni melalui media pendidikan formal, bulletin, media elektronik seperti radio televisi, buku-buku, teknologi Informasi internet dan saat ini merambah pada sektor pendidikan formal yang cenderung eksklusif dan tertutup.

Adapun pendidikan Islam adalah sebagian dari institusi yang ikut menjadi sorotan tatkala kerusuhan antar agama dan etnis muncul di beberapa tempat di Indonesia. Dengan tragedi tersebut, pendidikan dirasa perlu lebih ekstra memberikan bekal yang cukup terhadap peserta didik tentang bagaimana mereka mengembangkan sikap toleran terhadap perbedaandan keragaman yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, penyadaran akan urgensi pluralisme dan desain pendidikan inklusif (terbuka) diharapkan mampu memerankan fungsi edukasi yang mampu membentuk insan ramah dan berempati kepada kegelisahan setiap insan tanpa terkecuali, termasuk mereka yang nonmuslim[3]. Lalu pemahaman nilai-nilai pendidikan agama Islam Moderat seperti apakah yang seharusnya diperkuat dalam upaya menangkal, mengimbangi bahkan memerangi arus radikalisme?.

Pendidikan Islam Moderat

Pengertian Pendidikan Islam Kata “pendidikan”yang umum kita gunakan sekarang, dalam bahasa arabnya adalah “tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba”. Kata “pengajaran” dalam bahasa arabnya adalah “ta’lim” dengan kata kerjanya “alama”. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa arabnya “tarbiyah wa ta’lim” sedangkan “pendidikan islam” dalam bahasa arabnya adalah “tarbiyah islamiyah”. Kata kerja rabba (mendidik) sudah di gunakan pada zaman nabi muhammad SAW.[4] Pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan” (opvoeding) kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan “menumbuhkan” kemampuan dasar manusia.[5]

Jadi, Pendidikan Islam berarti sistem pendidikan yang memberikan kemampuan sseseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya, dengan kata lain pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia baik duniawi maupun ukhrawi. Definisi Pendidikan Islam Menurut Para Ahli:

1. Menurut Drs. Ahmad D. Marimba: Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukumhukum agama islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.

 2. Menurut Musthafa Al-Ghulayaini: Pendidikan Islam ialah menanamkan akhlak yang mulia di dalam jiwa anak dalam masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan air petunjuk dan nasihat, sehingga akhlak itu menjadi salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya kemudian buahnya berwujud keutamaan, kebaikan dan cinta bekerja untuk kemanfaatan tanah air.

Namun dari perbedaan pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan adanya titik persamaan yang secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut: Pendidikan Islam ialah bimbingan yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada anak didik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim.

Konsep Dasar Pendidikan Islam

Adapun konsep dasar pendidikan islam mencakup pengertian istilah tarbiyah, ta’lim dan ta’bid. Abdurrahman An-Nahlawi mengemukakan bahwa menurut kamus Bahasa Arab, lafaz AtTarbiyah berasal dari tiga kata, pertama, raba-yarbu yang berarti bertambah dan bertumbuh. Makna ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 39. Kedua, rabiya-yarba yang berarti menjadi besar. Ketiga, rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara.[6]

 Kata Tarbiyah merupakan masdar dari rabbayurabbi-tarbiyatan. Kata ini ditemukan dalam Al-Qur'an surat Al-Isra ayat 24

………

Artinya : ““Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Dr. Abdul Fattah Jalal, pengarang Min al-Usul at-Tarbiyah fii al-Islam (1977:15-24) mengatakan bahwa istilah ta’lim lebih luas dibanding tarbiyah yang sebenarnya berlaku hanya untuk pendidikan anak kecil. Yang dimaksudkan sebagai proses persiapan dan pengusahaan pada fase pertama pertumbuhan manusia (yang oleh Langeveld disebut pendidikan “pendahuluan”), atau menurut istilah yang populer disebut fase bayi dan kanak-kanak. Pandangan Fattah tersebut didasarkan pada dua ayat sebagaimana difirmankan Allah SWT surat al-Isra ayat 24 dan As-Syuara ayat 18.[7]

……

Artinya : Firaun menjawab: “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu.”

Kata ta’lim menurut Fattah merupakan proses yang terus menerus diusahakan manusia sejak lahir. Sehingga satu segi telah mencakup aspek kognisi dan pada segi lain tidak mengabaikan aspek afeksi dan psikomotorik. Fattah juga mendasarkan pandangan tersebut pada argumentasi bahwa Rasulullah saw, diutus sebagai Muallim, sebagai pendidik dan Allah SWT sendiri menegaskan posisi Rasul-Nya yang demikian itu dalam surat Al-Baqarah: 151.[8]

…….

Artinya : “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”

Dalam Pandangan Syaikh Muhammad An-Naquib Al- Attas, ada konotasi tertentu yang dapat membedakan antara term at-tarbiyah dari at-ta’lim, yaitu ruang lingkup at-ta’limlebih universal dari pada ruang lingkup at-tarbiyah, karena at- tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial. Lagi pula, makna at-tarbiyah lebih spesifik karena ditujukan pada objekobjek pemilikan yang berkaitan dengan jenis relasional, mengingat pemilikan yang sebenarnya hanyalah milik Allah semata. Akibatnya, sasarannya tidak hanya berlaku bagi umat manusia, tetapi termasuk juga spesies-spesies lainnya.[9]

Muhammad Nadi Al-Badri sebagaimana dikutip oleh Ramayulis mengemukakan, pada zaman klasik, orang hanya mengenal kata ta’dib untuk menunjukkan kegiatan pendidikan. Pengertian seperti ini terus digunakan sepanjang masa kejayaan islam, sehingga semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh akal manusia pada masa itu disebut adab, baik yang berhubungan langsung dengan islam seperti fiqh, tafsir, tauhid, ilmu bahasa arab, dan sebagainya, maupun yang tidak berhubungan langsung seperti ilmu fisika, filsafat, astronomi, kedokteran, farmasi, dan lain-lain. Semua buku yang memuat ilmu tersebut dinamai kutub alaadab. Dengan demikian terkenallah AlAdab Al-Kabir dan Al-Adab Ash-Shagir yang ditulis oleh Ibnu Al-Muqaffa (W. 760 M).[10]

Radikalisme dan Seluk beluknya

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme berarti (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik (Bahasa 2008, 1130). Radikalisme tidak bisa dilabelkan hanya kepada Islam, karena radikalisme bisa menjangkit pada sector apapun dalam kehidupa manusia baik ekonomi, politik, problem sosial dan lain sebagainya tak terkecuali agama. Namun dikarenakan maraknya aksi-aksi radikalisme yang terjadi dalam beberapa kurun waktu ini lebih cenderung ke dalam isu-isu ideologi keagamaan, maka seolah-olah agama adalah sarang radikalisme. Oleh karena itu menjadi benar tindakan yang dilakukan leh pemerintah dan aparat untuk memberikan edukasi tentang hakikat radikalisme dalam konteks yang lebih luas.

Hal tersebut diperlukan guna menghindari stigma negatif terhadap suatu agama akan radikalisme yang sebenarnya hanya diperagakan oleh sebagian oknum ummat yang tidak bertanggung jawab dalam menjaga kestabilan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada 17 Juli 2016 lalu pemimpin kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur, Santoso alias AbuWardah tewas dalam operasi yang dilakukan oleh TNI,[11] banyak pihak menilai hal itu sebagi keberhasilan ikhtiar Negara menumpas akar-akar terorisme. Namun mungkinkah peristiwa tertembaknya seseorang dapat menjelaskan bahwa gerakan radikalisme di Indonesia telah berakhir ? Radikalisme dalam agama ibarat pisau bermata dua, di satu sisi, makna positif dari radikalisme adalah spirit menuju perubahan ke arah lebih baik yang lazim disebut ishlah (perbaikan) atau tajdid (pembaharuan).

Dengan begitu radikalisme tidaklah bisa disamakan dengan ektrimitas atau kekerasan, ia akan sangat bermakna apabila dijalankan melalui pemahaman agama yang menyeluruh dan diaplikasikan untuk ranah pribadi. Namun di sisi lain, radikalisme akan menjadi berbahaya jika sampai pada tataran ghuluw (melampaui batas) dan ifrath (keterlaluan) ketika dipaksakan pada pemeluk baik internal agama maupun agama lain.[12]

Fenomena radikalisme Islam yang sering terjadi di beberapa negara, terutama negara Timur Tengah bukanlah fenomena yang baru dalam sejarah Islam. Banyak sekali faktor yang melatarbelakangi munculnya fenomena tersebut, di antaranya adalah faktor budaya, teologi, sosial ekonomi dan politik. Di Indonesia juga terjadi hal yang demikian meskipun kita tidak boleh menyamakan antara kaum Khawarij dengan sekelompok orang yang mengadakan pemberontakan terhadap suatu sistem yang memang sudah ditetapkan oleh pemerintah yang sah karena mereka mempunyai latar belakang yang bisa dikatakan berbeda.[13]

Radikalisme sebagai fenomena internasional akan menjadi kuat dan berbahaya bagi stabilitas keamanan dunia manakala mereka yang beragama justru memiliki peran besar di dalamnya. Hal itu dikarenakan kaum radikalis yang beragama akan cepat memperoleh fatwafatwa fiqhiyyah bagi perilakunya yang menjadikan dirinya merasa puas dengan fatwa-fatwa tersebut, seperti fikrah at-takfir (ide pengkafiran), merampas hak milik orang lain, menyandera wanita dan anak-anak, hingga membunuh mereka yang dianggap kafir. Itulah sebabnya mengapa radikalisme agama dikatakan oleh banyak kalangan sebagai benih munculnya terorisme.[14]

Ciri-Ciri Radikalisme Islam

Jihad oleh tokoh-tokoh ekstrimis didefinisikan sebagai misi suci menegakkan ajaran agama serta cara pintas masuk surga dengan melakukan aksi bom bunuh diri serta penerangan secara membabi buta kepada target yang diyakini sebagai orang kafir atau thaghut. Skenario doktrin jihad ini menjadi semakin efektif dengan cara memboncengi isu-isu ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, penistaan agama, dan pelanggaran HAM. Kondisi seperti ini dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya para ekstrimis telah merobohkan bangunan ajaran Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin, yaitu Islam yang penuh kesantunan, Islam dengan ajaran damainya adalah rahmat bagi alam semesta. Ekstrimisme telah mengakibatkan persepsi yang salah terhadap umat Islam, seolah-olah Islam sebagai penebar teror, kebencian dan permusuhan yang menakutkan. Bahkan di beberapa Negara terjangkit wabah Islamphobia. Padahal kebrutalan tersebut hanya dilakukan oleh segelintir kelompok dari orang-orang yang pada prinsipnya telah berseberangan dan jauh menyimpang dari ajaran Islam itu sendiri.[15]

Secara sederhana radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang ditandai oleh empat hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu:

pertama, sikap tidak toleran dan tidak mau menghargai pendapat atau keyakinan orang lain.

Kedua, sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri dan menganggap orang lain salah.

Ketiga, sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan orang kebanyakan.

Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.[16]

Adapun faktor penyebab terjadinya Islam radikal dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, faktor agama, yaitu sebagai bentuk purifikasi ajaran Islam dan pengaplikasian khilafah Islamiyah di muka bumi. Terdorongnya semangat Islamisasi secara global ini tercetus sebagai solusi utama untuk memperbaiki berbagai permasalahan yang oleh golongan radikal dipandang sebagai akibat semakin menjauhnya manusia dariagama

Kedua, faktor sosial-politik. Di sini terlihat jelas bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi. Penyimpangan dan ketimpangan sosial yang merugikan komunitas muslim, menyebabkan terjadinya gerakan radikalisme yang ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan.

Ketiga, faktor pendidikan. Minimnya jenjang pendidikan, mengakibatkan minimnya informasi pengetahuan yang didapat, ditambah dengan kurangnya dasar keagamaan mengakibatkan seseorang mudah menerima informasi keagamaan dari orang yang dianggap tinggi keilmuannya tanpa dicerna terlebih dahulu, hal ini akan menjadi bumerang jika informasi didapat dari orang yang salah.

Keempat, faktor kultural. Barat dianggap oleh kalangan muslim telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi seluruh sendi-sendi kehidupan muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas. Barat, dengan sekularismenya, sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori budaya-budaya bangsa timur dan Islam, juga dianggap bahaya terbesar keberlangsungan moralitas Islam.

Kelima, faktor ideologis anti westernisasi. Westernisasi merupakan suatu pemikiran yang membahayakan muslim dalam mengaplikasikan syari'at Islam sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syari'at Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.[17]

Penyebaran Radikalisme Islam Melalui Lembaga Pendidikan

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius pernah menegaskan bahwa saat ini tidak ada lini yang benar-benar steril dari radikalisme, termasuk dunia pendidikan. Pernyataan ini menarik disikapi secara kritis dengan mencermati dua hal:

 Pertama, dunia pendidikan, baik yang umum dan berbasis agama, memiliki potensi disusupi paham radikal dan teror. Sebagai contoh, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan.

agama Islam tertua di Indonesia berulang kali dikaitkan dengan isu radikalisme dan terorisme. Padahal, pondok pesantren yang jumlahnya mencapai 28.000 di nusantara, sama sekali tidak mengajarkan Islam radikal dan Islam teror, melainkan pendidikan Islam yang rahmatan lil alamin.

Kedua, mengokohkan peran institusi pendidikan Islam pondok pesantren sebagai benteng menanggulangi radikalisme dan terorisme di Indonesia. Sebab, dengan pengajaran agama Islam di pondok pesantren tersebut dapat menghapus fenomena radikalisme maupun terorisme atas nama agama. Kedua fenomena tersebut menjadikan peran strategis pondok pesantren dalam menahan laju perkembangan bibit-bibit “pemikiran keras”membumi dalam ruang pendidikan di tanah air.[18]

Anak muda yang menjadi sasaran adalah anak-anak SMP dan SMA yang sedang tahap pembentukan kepribadian dan belum terlalu mengerti dasar-dasar agama. Paham keagamaan mereka diberikan disekolah dengan waktu yang sangat sedikit, satu jam dalam seminggu. Konsekwensinya, jika tidak mendapatkan pelajaran dari orang tua di rumah atau ustad di lingkungan mereka, tidak tertutup kemungkinan anak-anak ini mencari pemahaman agama secara liar. Perkara pendidikan agama disekolah tidak sebatas kurikulum dengan waktu yang sangat terbatas untuk pengajaran agama tapi juga buku teks pendidikan agama yang dikeluarkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Buku teks keagamaan menjadi sorotan masyarakat setelah beredarnya buku ajar yang berisi muatan intoleransi dan kekerasan di Jombang, Jawa Timur tahun lalu.[19]

Agama harus jadi instrumen kohesi sosial yang bisa jadikan kita semua toleran. Karena dalam agama kalau kita pelajari agama secara benar dan mendalam justru membentuk jiwa yang toleran damai. itu karakter pendidikan islam yang harus ditekankan di indonesia, sebagaimana dikatakan oleh Kamaruddin dalam konkow pendidikan, diskusi ahlidan tukar pendapat di Gedung Kementerian Pendidikan, Jakarta, Rabu (4/11/2015).

Kamaruddin menuturkan, meskipun Islam di Indonesia menuai pujian dari banyaknegara karena mampu menunjukkan sikap yang moderat dan toleran, bukti-bukti menunjukkan bahwa islam dalam bentuk yang lebih tidak toleran dan ekstrimis juga ada di negara ini. kecenderungan sikap ekstrimis kurang ditemukan di lembaga-lembaga pendidikan Islam, melainkan justru di lembaga pendidikan umum baik swasta maupun negeri. Berdasarkan penelitian, kata Kamaruddin, hanya 30% sekolah yang terpengaruh radikalisme yang dampaknya dapat meluas jika tidak segera diantisipasi. Jalur utama masuknya radikalisme di sekolah adalah organisasi masyarakat Islam radikal yang semakin meningkat dalam hal jumlah dan aktivitas.[20]

Nilai Luhur Pendidikan Agama Islam Anti Radikalisme

Implementasi pendidikan anti terorisme melalui pendidikan agama Islam moderat bertujuan untuk mewujudkan masyarakat muslim yang toleran dan cinta damai di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang plural. Sebagaimana kita ketahui, bangsa Indonesia hidup bersama dalam keragaman suku, agama, ras, dan adat kebiasaan. Akhir-akhir ini tak jarang keragaman tersebut, termasuk keragaman dalam hal agama ditunggangi oleh oknum-oknum tertentu untuk melakukan aksi terorisme. Alhasil agama yang diyakini oleh masyarakat Indonesia mengalami distorsi, termasuk agama Islam. Akibat aksi terorisme tersebut, Islam sebagai agama yang mengajarkan praktik toleransi kepada pemeluknya berubah menjadi agama yang seakan “garang” di mata pemeluk agama yang lain.

Di sinilah, implementasi pendidikan anti terorisme melalui pendidikan agama Islam moderat diharapkan dapat menciptakan masyarakat muslim yang toleran dan cinta damai baik terhadap sesama pemeluk agama Islam maupun pemeluk agama lainnya.[21]

Pendidikan Islam yang berada dipunggung guru bagai pedang bermata dua, di satu sisi bisa menangkal radikalisme, di sisi yang lain justru bisa melahirkan radikalisme agama. Pendidikan agama yang salah bisa menjadikan seseorang menjadi radikal. Di beberapa sekolah, siswa bukannya diperkenalkan dengan ajaran Islam yang penuh cinta, namun justru dikenalkan dengan ajaran yang keras, agresor, dan pembalas dendam. Oleh sebab iti pendidikan harus bisa berperan sebagai sarana membangun ketahanan individu dari masuknya nilai-nilai yang menyimpang dari kearifan lokal jati diri bangsa.

Untuk mencegah lahirnya radikalisme ini, perlunya merombak total carapandang terhadap agama Islam. Di sinilah peran guru sebagai pendidik menduduki posisi kunci. Karena di tangan merekalah, anak didik bisa dibentuk cara pandangnya pada agama dengan kacamata cinta. Ajarkan pada anak kecil nama Jamaliyyah bukan Jalaliyyah. P

endidikan agama Islam harus moderat, ini agama cinta kasih. Jadilah figur pendidik yang modal utamanya adalah kasih sayang kepada siswa. Ajarkan bahwa Islam itu adalah kasih sayang Allah Swt sebagai ramatan lil ‘alamin. Moderat dalam Islam jangan disalah artikan sebagai golongan yang tidak memiliki pendirian, namun moderat dalam artian mengambil jalan tengah yang mengedepankan aspek mashlahah al-mursalah sebagai konsekuensi atas fakta bahwa masyarakat Indonesia dilahirkan dengan beragam ras, suku, bahasa, adat, warna kulit serta keyakinan akan tuhan yang beragam.

Dalam Pendidikan agama Islam di sekolah pengajaran akan sejarah agama-agama yang ada di Indonesia menjadi urgen untuk diajarkan agar peserta didik memahami bagaimana transformasi kehidupan umat beragama yang terjadi di masyarakat Indonesia.

Dalam Islam, ajaran tentang toleransi bisa diaplikasikan lewat beberapa cara, di antaranya:

Pertama, berpegang pada prinsip kalimatun sawa (commomplatform) untuk pergaulan antar umat beragama dan berbagai kepentingan masyarakat yang plural. Titik persamaan ini terletak pada kebutuhan untuk mencintai tuhan, mencintai makhluk tuhan, dan mengakui suarahati nurani. Memberikan penguatan kepada peserta didik bahwa dijadikannya keyakinan yang berbeda pada manusia merupakan kehendak dari Allah SWT.

Kedua, menumbuhkan pemahaman keagamaan yang integratif, egaliter, inklusif, dan plural dengan melakukan penguatan metodologi terhadap kajian-kajian Islam, semisal pengembangan metode takwil (hermeneutik), serta pentingnya mendefinisikan ulang tentang diri dan orang lain. dalam hal ini bisa melalui pemberan materi mengenai antropologi agama, sosiologi dan lain sebagainya yang berkaitan dengan konstruksi kehidupan sosial kemasyarakatan dengan segala aspek yang membangunnya.

Termasuk mengkaji konsep-konsep yang selama ini dianggap telah baku, seperti konsep mukmin/kafir, muslim/munafik dan lain-lain.

Ketiga, mentradisikan musyawarah dan berdiskusi. Tradisi musyawarah ini akan menumbuhkan sikap toleran dan mengakui keberagaman pemikiran dan sikap setiap insan dalam mencari hal yang baik dan benar. Kebaikan dan kebenaran bisa datang dari manapun, termasuk dari orang yang dibenci sekalipun.

Untuk itu, pemahaman keagamaan harus di-bangun secara inklusif dan tidak mengedepankan klaim. Klaim kebenaran dari suatu kelompok dengan menafikan kebenaran dari kelompok lainhanya akan menimbulkan kecurigaan dan pertentangan.

Keempat, jaminan terhadap terpenuhinya lima hak dasar manusia,yakni: (1) hifdz al-diin, menjamin keyakinan agama masing-masing; (2) hifdz al-nafs, jaminan terhadap keselamatan jiwa setiap warga masya-rakat; (3) hifdz al-aql, menjamin setiap bentuk kreasi pikiran, baik bersifat intelektual maupun budaya dan seni; (4) hifdz al-nasl, menjamin kese-lamatan keturunan dan keluarga dengan menampilkan moral yang kuat;dan (5) hifdz al-mal, menjamin keselamatan harta benda dan hak kepemilikan.[22]

Konsep dasar tersebut secara dini harus ditanamkan pada setiap muslim lewat pendidikan sekolah maupun pendidikan di luar sekolah. Terkait dengan pendidikan agama, setiap pendidik harus mengajarkan agama secara integral-komprehensif dengan melihat kebenaran dari berbagai perspektif walaupun tetap harus meyakini kebenaran agama yang dianutnya.[23]

Hal ini dilakukan agar peserta didik mampu memetakan mana wilayah yang berkaitan dengan ranah pribadinya sebagai pemeluk agama dan mana wilayah yang berkaiatan dengan hubungan hidup dengan masyarakat yang tidak satu keyakinan dengannya.

Radikalisme lebih banyak disebabkan oleh adanya faham atau pemikiran yang sempit terhadap suatu fenomena. Oleh sebab itu jika radikalisme ingin dieliminir bahkan dihilangkan harus diawali dari pembinaan atau bimbingan cara pandang atau cara fikir terhadap suatu fenomena.

Nur Syam (2009) dalam buku Tantangan Multikulturalisme Indonesia memiliki analisis yang cukup menarik bahwa untuk melahirkan cara pandang yang tepat perlu belajar dari ideologi ahlussumahwal jamaah atau NU yang dicirikan dengan empat hal;

Pertama, tawasuth (moderat) mengambil jalan tengah yang lebih bijaksana. Doktrin ini mengajarkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk melaksanakan suatu aktivitas tetapi sebebas apapun manusia masih dibatasi oleh kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Artinya dalam menjalankan tugasnya di muka bumi sebagai penegak agama Allah tidak lantas menjadikan manusia lupa bahwa kehendak untuk menjadikan manusia beragam adalah mutlak kehendak Allah. Jika ingin meraih kesuksesan, manusia wajib ikhtiyar secara optimal tetapi jangan lupa bahwa Allah swt juga ikut menentukan keberhasilan. Jika demikian maka Radikalisme dan ektrimisme cenderung pada sikap israf.

Kedua, tawazun (keseimbangan). Doktrin ini mengajarkan bahwa manusia dalam memandang suatu realitas tidak boleh bersifat ektrem baik kekiri atupun ke kanan. Artinya manusia yang baik tidak terlalu berlebihan pada saat senang atau benci kepada sesuatu. Hal ini didasarkan asumsi bahwa sebaik baik menurut pandangan manusia belum tentu baik menurut Allah swt, sebaliknya sejelek jelek dalam pandangan manusia juga belum tentu jelek menurut Allah swt.

Ketiga, i’tidal (keadilan). Doktrin ini mengajarkan bahwa diantara sesama manusia harus saling memebrikan kepercayaan dan kepercayaan yang dibangun harus memberikan peran secara proporsional. Dunia akan cepat hancur jika masing masing-masing elemen tidak memiliki kesadaran untuk melaksanakan peran masing-masing secara proporsional.

Keempat, tatharruf (universsalisme). Doktrin ini mengajarkan setiap manusia agar lebih mengedepankan pemahaman Islam yang bersifat universal (global). Kebenaran Islam dilihat dari norma-norma yang bersifat umum seperti keadilan, kemanusiaan, keselamatan dan kesejahteraan.

Secara garis besar dari nilai-nilai yang telah dipaparkan di atas berpusat pada penguatan keshalehan vertikal (Hablumminallah), dan keshalehan horizontal (hablumminannas).

Setrategi menolak paham ekstrem dalam pendidikan Islam

1.      Bangun kurikulum berpikir kritis

Kelompok terorisme kerap menyebarkan ideologi mereka melalui propaganda yang menggugah. Artinya, salah satu cara terbaik untuk memutusnya adalah dengan mempromosikan muatan kurikulum berpikir kritis. Kurikulum berpikir kritis dapat membangun kemampuan anak untuk menyelesaikan masalah dan melihat segala sesuatu dengan cara pandang yang beragam – terutama masalah terkait identitas, keberagaman, dan ideologi yang muncul seiring mereka tumbuh dewasa. Dalam konteks radikalisme, kemampuan berpikir kritis ini diharapkan membuat anak menjadi lebih skeptis terhadap penyelesaian berbagai masalah dan konflik melalui cara-cara kekerasan.

Langkah ini patut diapresiasi karena di antaranya memuat kurikulum berpikir kritis sejak sekolah dasar (SD) hingga pendidikan tinggi. Strategi ini juga sejalan dengan rekomendasi praktik global untuk mengajarkan berpikir kritis sedini mungkin sesuai perkembangan kognitif anak

2.      Gencarkan pendidikan literasi media

Kelompok terorisme seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menggunakan media sosial sebagai sarana menyebarkan propaganda dan merekrut anggota baru. Strategi tersebut berhasil memengaruhi banyak warga Indonesia untuk berangkat ke wilayah konflik dan berjuang di bawah bendera ISIS.

Beberapa kelompok terorisme biasanya menggunakan kewajiban agama sebagai propaganda untuk menggalang dukungan. Masalah sosial lain seperti kemiskinan dan ketimpangan juga dimanfaatkan sebagai pesan yang memikat banyak orang untuk bergabung. Untuk mencegahnya, sistem pendidikan dapat menyediakan muatan literasi media agar anak memiliki kemampuan dalam memilih dan mengevaluasi informasi yang dikonsumsi.

3.      Bangun ruang yang aman bagi anak untuk berdiskusi dan berpendapat

Dua rekomendasi di atas hanya akan dapat terlaksana jika anak mendapatkan kesempatan sebanyak-banyaknya untuk melatih cara mereka berpikir. Tentunya ini tidak terlepas dari seberapa terbuka dan aman lingkungan sekitar menerima pendapat anak.

Salah satu lingkungan terdekat anak, yakni sekolah, dapat berperan dengan cara menerapkan praktik pembelajaran yang membantu anak memahami berbagai topik dan materi yang kompleks yang biasanya tabu – dari agama, identitas, hingga tradisi – secara lebih terbuka.

Dengan iklim belajar seperti ini, anak akan semakin terlatih untuk menghormati proses diskusi dan berani mempertanyakan kembali berbagai asumsi, prasangka, dan bias yang selama ini mereka yakini. Salah satu praktik yang dapat diterapkan adalah membangun ruang diskusi di kelas untuk menceritakan pengalaman pribadi anak mengenai berbagai topik menantang di atas.

4.      Merancang pendidikan anti-radikalisme: jalan panjang ke depan

Saat ini, sistem pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan untuk memenuhi tiga rekomendasi di atas.

Masyarakat kita  masih menemui berbagai hambatan terkait akses pendidikan yang terbatas, kualitas dan ketersediaan tenaga pengajar yang masih rendah, fasilitas pendidikan yang tidak merata, serta kurikulum yang terus berubah setiap tahun tanpa proses evaluasi yang memadai[24].

 

Kesimpulan

Pendidikan moderasi beragama adalah hal penting yang perlu mendapat perhatian khusus dari para pemerhati Pendidikan karena memiliki peran penting dalam memerangi radikalisme dan ekstremisme agama khusus nya bagi Lembaga yang memiliki siswa dengan heterogonitas latar belakang, yang menjadi  kekhawatiran bagi Masyarakat karena dampak nya dapat mengancam perdamaian,keamanan sosial,  dan stabilitas di sebuah negara. Peran islam moderat bisa menanggulangi radikalisme di indonesia dengan cara deradikalisasi melalui Pendidikan islam yang multikultur untuk membina peserta didik agar dapat memahami agama secara menyeluruh dan akhirnya mampu membentuk perilaku para siswa yang multi kultur dan multireligus dengan menerapkan nilai nilai islam yang moderat.

 


 

Daftar Pustaka

Abdallah, Opini harian Koran Tempo, edisi, 13 September 2016

Buddy Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta:Paramadina, 1994), 546-549.

Hasyim Syafiq, Penanggulangan Radikalisme dan Ekstremisme Berbasis Agama Kun Wazis, Isu Radikalisme-Terorisme danPendidikan Ponpes REPUBLIKA.CO.ID, Sabtu , 17 June 2017

Laisa Emna, Islam dan Radikalisme (Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014), hlm.2. Mulyadi Arif,Peran guru agama Islam dalam Menanggulangi Paham Radikalisme, (Safira Vol 2/No.1/2017) hal.50

Nadia Zunly, Akar-akar Radikalisme Islam dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur’an Karya Sayyid Quth,Mukaddimah, 18 (2), 2012: 301-323

Zakiah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000).

Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991).

Roqib. Moh, Filsafat Islam, 179.

Purwanto M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung: Remaja Rosdakarya,1995), hlm. 15.

Wiyani, Novan Ardy, Pendidikan Agama Islam Berbasis Anti Terorisme Di SMA, (Jurnal Pendidikan Islam :Volume II, Nomor 1, Juni 2013/1434), hlm. 67-68

Agilasshofie,RadikalismeGerakanIslam,http://agilasshofie.blogspot.com/2011/10/radi kalisme-gerakan politik.html, diakses pada 15 November 2017

http://kabar24.bisnis.com/read/20151104/255/488782/pendidikan-agama-islamdi-sekolah-cegah-paham-radikalisme. Diakses pada 15 November 2017

http://www.ahlulbaitindonesia.or.id/berita/peran-kunci-pendidikan-dalam-menangkalradikalisme-agama/, diakses pada 15 Nov 2017.

https://theconversation.com/tiga-cara-sistem-pendidikan-indonesia-bisa-berperan-mencegah-radikalisme-dan-ideologi-kekerasan-161282



[1] Menjadi trending topik di berbagai situs berita harian online dan cetak

[2] Zunly Nadia, Akar-akar Radikalisme Islam dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur’an Karya Sayyid Quth,Mukaddimah, 18 (2), 2012: 301-323

[3] Moh. Roqib, Filsafat Islam, 179.

[4] Zakiah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000), h. 25

[5] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 32.

[6] Ibid, h. 22

[7] Abdul Halim Soebahar. Wawasan Baru Pendidikan Islam, h. 4

[8] Ibid, h. 5

[9] Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan, h. 24-25

[10] Ibid, h. 26

[11] Trending topik di berbagai situs berita online dan cetak

[12] Emna Laisa, Islam dan Radikalisme (Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014), hlm.2.

[13] Arif Mulyadi,Peran guru agama Islam dalam Menanggulangi Paham Radikalisme, (Safira Vol 2/No.1/2017) hal.50

[14] Novan Ardy Wiyani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Anti Terorisme Di SMA,(Jurnal Pendidikan Islam :Volume II, Nomor 1, Juni 2013/1434), hlm. 67-68

[15] Radikalisme agama tidak hanya dikenal dalam sejarah dan dunia Islam, tetapi juga terdapat pada agama lain selain Islam. Kelompok radikal Sikh di kalangan umat Hindu misalnya, mereka menyatakan perang terhadap pemerintah India sehingga salah seorang anggotanya yang bernamaLal Singh dituduh sebagai pelaku peledakan jet Air India yang menewaskan seluruh penumpangnya(329 orang) dari penerbangan dari Toronto ke London. Dari kalangan Kristen, Rev. Paul Hillmenembak mati Dr. John Britton dan pengawal pribadinya di klinik aborsi di Pensacola Floridadengan dalih bahwa ajaran Bible membolehkan membunuhnya karena telah melakukan praktikaborsi dengan membunuh calon-calon bayi. Pembunuhan tersebut disambut dengan g

[16] Agilasshofie,RadikalismeGerakanIslam,http://agilasshofie.blogspot.com/2011/10/radikalism e-gerakan politik.html, diakses pada 15 November 2017

[17] Emna Laisa, Islam dan Radikalisme (Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014), hlm.6-7

[18] KunWazis, Isu Radikalisme-Terorisme danPendidikan Ponpes REPUBLIKA.CO.ID, Sabtu , 17 June 2017,

[19] Abdallah, Opini harian Koran Tempo, edisi, 13 September 2016.

[20] http://kabar24.bisnis.com/read/20151104/255/488782/pendidikan-agama-islam-disekolah-cegah-paham-radikalisme. Diakses pada 15 November 2017

[21] Novan Ardy Wiyani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Anti Terorisme Di SMA,(Jurnal Pendidikan Islam :Volume II, Nomor 1, Juni 2013/1434), hlm. 67-68.

[22] 9Buddy Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta:Paramadina, 1994), 546-549

[23] Emna Laisa, Islam dan Radikalisme (Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014), hlm.15

[24] https://theconversation.com/tiga-cara-sistem-pendidikan-indonesia-bisa-berperan-mencegah-radikalisme-dan-ideologi-kekerasan-161282